Upacara Kasada
01.34 | Author: Ryan Chrisandro

Suku Tengger adalah sebuah suku yang tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang.Nama Tennger Dikisahkan, konon ada sepasang suami-isteri bernama Jaka Seger dan Raya Anteng, yang disatukan dari identitas dan status sosial yang berbeda. Jaka Seger adalah seorang pemuda dari Tengger, sedangkan Rara Anteng adalah salah satu kerabat dari Keraton Majapahit.

Setelah beberapa tahun usia perkawinan, keduanya tidak kunjung dikaruniai keturunan. Keduanya lalu bersemadi dan memohon agar segera diberikan keturunan, disertai ikrar kepada roh penjaga Gunung Bromo bila doanya terkabul akan melakukan pengorbanan.
Permohonan tersebut ternyata dikabulkan, bahkan mereka dikaruniai keturunan berjumlah dua puluh lima orang. Untuk memenuhi janjinya, sepasang suami-istri itupun menyerahkan anam bungsunya bernama Dewa Kusuma untuk dikorbankan kepada roh Gunung Bromo.

Sepenggal kisah inilah yang menjadi asal-usul ritual Kasada, dan diperingati setiap tahun oleh komunitas Tengger (yang berarti pula anak cucu Rara Anteng dan Jaka Seger). Tidak lain tidak bukan, ritual ini diperuntukkan untuk mengenang pengorbanan yang dilakukan oleh Dewa Kusuma. Cerita mengenai Rara Anteng dan Jaka Seger dalam ritual Kasada biasanya disampaikan menjelang puncak perayaan Kasada, berupa larung sesaji secara massal di kawah Gunung Bromo.

Dari kisah Rara Anteng dan Jaka Seger inilah keseluruhan makna identitas Tengger selama ini dikonstruksikan. Hefner misalnya, dengan merujuk sumber-sumber dan catatan kolonial, menyatakan bahwa sebagian orang Tengger adalah orang-orang Majapahit yang mencari perlindungan dari serangan kerajaan Islam Demak. Perjumpaan dua “saudara” ini lalu dimaknai sebagai simbol pertemuan dua identitas yang mengharapkan kesuburan, kemakmuran, dan keberlangsungan rantai generasi mereka.

Pengorbanan Dewa Kusuma sebagai representasi leluhur Tengger juga menandai proses pemujaan terhadap arwah setiap leluhur Tengger yang telah meninggal. Biasanya pemujaan ini dihelat melalui ritual entas-entas, atau mengentaskan arwah leluhur yang telah meninggal agar memperoleh alam surgawi. Sementara Kasada lebih menekankan pada pengentasan arwah leluhur mereka, yang diritualkan secara massal.

Di kalangan dukun-dukun Tengger sendiri, makna Kasada memiliki versinya sendiri, walau secara “resmi” tidak menolak kisah Rara Anteng dan Jaka Seger. Menurut Mujono (Dukun Ngadas ,Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo), ritual Kasada menyiratkan banyak makna di antaranya untuk mengingat pengorbanan leluhur, dan persembahan terhadap Yang Maha Kuasa guna memperoleh berkah kesuburan dan perlindungan.

Namun demikian selain cerita legenda yang sebenarnya banyak memuat versi tersebut, ritual Kasada secara sosiologis sebenarnya juga menjadi momen perjumpaan. Sebab, melalui ritual Kasada seluruh warga Tengger dari empat Kabupaten yang mengiris wilayah dataran tinggi Tengger berkumpul bersama. Tepat tanggal 15 saat bulan purnama, warga Tengger dari Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang menyatu dan melakukan puja bakti di Poten yang terletak di pinggir kawah Bromo.

Rangkaian upacara yang rumit dan dilakukan secara massal inilah yang sebenarnya membuat daya tarik Kasada amat besar. Paduan antara keelokan Bromo dan keagungan tradisi wong Tengger memendarkan keagungan yang mengundang rasa takjub semua orang.

Karena itu rasanya tidak mengherankan, bila ritual Kasada juga dimaknai oleh berbagai pihak dengan cara yang berbeda-beda. Proses modernisasi dan realitas ekonomi dan politik mutakhir telah ikut meletakkan ritual Kasada dalam ruang baru dengan aneka makna dan tafsir bagi para “penikmatnya”. Nasib tak dapat ditolak, dalam ruang yang baru ini Kasada kini menjadi arena pertarungan berbagai kepentingan, dan perebutan berbagai makna yang mengiringi kehidupan komunitas Tengger.

Sumber Ekonomi

Selain memuat unsur sakral, ritual Kasada rupanya juga dimaknai lain oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan dengannya. Tidak bisa dimungkiri Kasada telah membawa berkah tersendiri bagi para dukun Tengger. Selain membuang sesaji berupa hasil bumi, hewan peliharaan, maupun uang di kawah Bromo, wong Tengger juga memberikan “sedekah” kepada dukun agar permintaan doanya melalui dukun dapat terkabul. Dengan demikian menjadi dukun di Tengger berarti juga membuka keuntungan ekonomi tersendiri.

Di pihak lain, bagi sebagian warga Tengger yang hidup serba terbatas dari segi ekonomi atau ingin menambah pendapatan, ritual Kasada merupakan peluang yang tidak boleh disia-siakan. Momen ini digunakan untuk berjualan, menyediakan jasa transportasi dan penginapan. Dan bagi yang tak cukup modal, biasanya mereka mengais rejeki dengan duduk di pinggir kawah Bromo menanti sesaji yang dilemparkan para pengunjung, mulai berupa hasil panen, hewan peliharaan, hingga recehan uang.

Rupanya bukan hanya warga Tengger yang memperoleh berkah rezeki dari ritual Kasada. Dinas Pariwisata bahkan secara aktif memanfaatkan momen perayaan Kasada sebagai lahan baru yang penting guna menambah pundi-pundi pendapatan asli daerah (PAD). Lalu disusunlah berbagai program paket wisata, yang sekarang ini sedang dicanangkan oleh keempat pemerintah kabupaten yang menaungi kawasan Tengger. Berbagai atraksi kesenian pun digelar mengawali ritual Kasada. Seperti reog dan kidungan, serta pameran hasil bumi.

Kuasa Politik

Kasada tampaknya memang bukan sekadar ritual biasa. Kini ia menjadi arena perebutan berbagai makna. Termasuk menjadi ajang perebutan prestise politik. Di Tengger yang menjadi bagian dari wilayah Probolinggo, selalu diadakan pelantikan sesepuh Tengger. Mereka yang dilantik adalah para pejabat pemerintah, bupati dan pejabat kedinasan di Jawa Timur. Jangan ditanya apakah para pejabat itu sebelumnya memahami tradisi Tengger atau tidak, karena rupanya kriteria itu bukan syarat utama.

Sebagian elit Tengger sendiri menjadikan pelantikan itu lebih sebagai momentum untuk merapatkan diri ke dalam barisan kekuasaan. Untuk apa lagi kalau bukan demi kue pembangunan yang dikucurkan di Tengger.

Praktik acara seperti ini menurut beberapa warga yang relatif tua, dilakukan sejak Golkar berjaya, kira-kira di era tahun 80-an pada masa keemasan rejim Orba. Demikian pula sebaliknya, bagi penguasa lokal, penegasan dirinya sebagai sesepuh Tengger adalah kesempatan untuk mendapatkan sokongan politik dan jatah jabatan. Dengan menjalin kontak dengan lingkaran kekuasaan kultural di Tengger, setidaknya menjadi modal sosial bagi penguasa lokal, sekaligus untuk memudahkan pengendalian politik jika sewaktu-waktu terjadi konflik sosial.

Berbeda dengan wong Tengger, dukun, maupun penguasa lokal, para pemuka agama formal juga memaknai Kasada secara lain. Pemuka Hindu seperti Sarmidi dan Bambang Soeprapto misalnya, memaknai Kasada sebagai pengamalan nilai-nilai yang diajarkan dalam Pancanyatnya. Salah satu prinsip Pancanyatnya adalah dewanyatnya, yakni memberikan penghormatan kepada dewa. Bagi keduanya, Nyatnya Kasada adalah penegasan atas nuansa kehinduan di Tengger. Meskipun pada akhirnya klaim inipun memperoleh sanggahan dari wong Tengger sendiri, seperti Ngatrulin.

Begitulah ritual Kasada di Tengger. Banyak pihak yang kini sedang “bermain-main” dan berusaha memaknai Kasada dengan versi dan kepentingannya sendiri. Pemerintah, kaum agamawan, pebisnis, masyarakat di sekitar Tengger hingga wong Tenger sendiri.

Walau begitu, sejauh ini perbedaan tafsir dan pemaknaan ini tidak begitu saja menggoyahkan integrasi wong Tengger sebagai saudara senasib. Ketenggeran sejauh ini masih menjadi pandanganwong Tengger. Walau secara spasial mengalami purifikasi, negosiasi, dan perebutan makna dari kekuatan modern yang mulai menggurita dalam kebudayaan Tengger.

This entry was posted on 01.34 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar:

"